• facebook
  • twitter
  • linkin
  • flickr
  • myspace
Pihak duniaagroindustri menerima tulisan dari kawan2 untuk ditampilkan dan dibagi ilmunya di duniaagroindustri. Nama penulis dan keterangaannya akan ditampilkan. Bagi yang berminat silahkan kirim tulisannya ke alamat email taufikwidiarto@gmail.com

RI Baru Bisa Menganut Satu Jenis Gula 10 Tahun Lagi

Posted by on | | 0 komentar
Jakarta - Indonesia baru bisa memungkinkan menerapkan satu jenis gula di pasar dalam negeri hingga 10 tahun kedepan. Saat ini masih ada dikotomi gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi umum dengan gula untuk kebutuhan gula industri yaitu gula rafinasi.

"Indonesia masih menganut dualisme gula, sepuluh tahun mendatang baru bisa hilang," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur di kantor Kadin, Kamis (9/12/2010).

Natsir menjelaskan mengapa baru sepuluh tahun lagi Indonesia bisa menganut satu gula seperti kebanyakan negara-negara lain di dunia. Alasannya karena pada periode itu Indonesia sudah mengalami swasembada gula, revitalisasi sudah rampung dan pembangunan pabrik gula baru sudah beroprasi penuh.

Natsir menuturkan adanya wacana memasukan gula rafinasi ke pasar umum saat ini ditengah ancaman kekurangan gula konsumsi sangat tidak relevan. Selain harus menabrak aturan yang sudah ada, juga akan berakibat pada nasib petani tebu yang selama ini menyuplai bahan baku GKP ke pabrik-pabrik gula PTPN.

"Kalau dualisme ini dihilangkan sekarang kasihan petani," katanya.

Selama ini gula kristal putih untuk konsumsi umumnya memiliki kualitas dibawah dari gula rafinasi dari sisi warna atau kepekatan warna gula (icumsa) karena diolah di pabrik tua. Selain itu, gula rafinasi memiliki harga yang kompetitif karena diproses dipabrik yang moderen dan baru dengan bahan baku raw sugar yang relatif murah.

(hen/ang)
sumber: detikfinance.com
Maos Jangkepipun (read more) »»

Lima Langkah Kenali Minuman Palsu

Posted by on | | 0 komentar
AKHIR-akhir ini banyak beredar minuman asli, tapi palsu (aspal). Disebut demikian karena bentuk fisiknya serupa dengan yang asli. Lantaran itu, tak sedikit masyarakat awam yang terkecoh.

Menurut Prof dr R. Bambang Wirjatmadi MS MCN PhD SpGK, staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, semua jenis minuman kemasan berpotensi dipalsu. Misalnya, softdrink, teh, bahkan air mineral kemasan.

Botol yang digunakan asli dari produsen, namun isinya tidak sesuai. Kemasannya dapat berupa botol plastik ataupun kaca. Jarang dijumpai minuman dalam kemasan kardus dan kaleng yang dipalsukan. "Biasanya, minuman tersebut mempunyai kemasan yang dapat diperjualbelikan sehingga mudah dipalsu," ujar Bambang.

Mengenali minuman palsu dengan yang asli memang sulit dibedakan. Sebab, keduanya mempunyai fisik, rasa, bau, dan warna yang serupa. Bahkan, jika dilihat sepintas seperti tidak ada perbedaan. Apalagi bila yang memalsu adalah produsen berpengalaman. Konsumen akan lebih sulit untuk mengenalinya.

"Cara paling efektif untuk mengetahuinya adalah dengan pengetesan warna dari minuman tersebut," jelas pakar gizi itu. Pada minuman kemasan palsu, jika minuman mengenai pakaian atau kain, warna yang menempel tidak akan hilang walau dicuci berulang-ulang. "Hal ini berlaku untuk semua minuman palsu, baik yang dibuat produsen berpengalaman ataupun yang amatir," jelasnya.

Terhadap produk dari produsen yang tidak berpengalaman, ada beragam cara mengetes keasliannya.
Pertama, kejernihan. Ketika diterawang, akan terlihat ampas atau serat dari bahan yang digunakan. Ketika didiamkan akan terdapat endapan di bagian bawah minuman. Pada air mineral palsu, selain ampas kadang-kadang dijumpai lumut, bahkan jentik nyamuk.

Kedua, bau. Pada minuman baru, baunya tidak akan berbeda dengan aslinya. Namun, jika sudah dua hingga tiga hari belum terjual, bau berubah. "Baunya busuk. Itu disebabkan kuman pembusuk dari bahan-bahan yang tidak higienis," kata spesialis gizi klinik itu. Begitu juga pada air mineral, baunya tidak lagi segar, tetapi busuk.

Ketiga, rasa. Ada perubahan rasa minuman aspal. Biasanya, rasanya masam dan tidak enak. Hal tersebut juga disebabkan proses pembusukan.

Keempat, warna. Seperti halnya produsen berpengalaman, minuman yang dibuat produsen kurang berpengalaman juga menyebabkan warna permanen pada kain.

Kelima, kenali bentuk fisik atau kemasan. Kondisi botol tidak bersih dan tidak bagus. Kalaupun bersih, mungkin terdapat banyak goresan di bagian luar. "Tutup botolnya juga mudah dibuka karena cara menutupnya hanya ditekan tanpa menggunakan alat khusus," ungkapnya.

Biasanya, minuman palsu dijual bebas dan dapat ditemukan di berbagai tempat umum. Seperti terminal, stasiun, SPBU, dan warung-warung pinggir jalan. Apalagi jika minuman tersebut dijual dengan cara dimasukkan dalam plastik dan diberi tambahan es batu. Maka, perbedaan rasa akan semakin tidak kentara. Walau demikian, bukan berarti minuman aspal tidak ditemukan di restoran-restoran ataupun supermarket. Namun, persentasenya lebih kecil.

Ada beberapa kemungkinan setelah mengonsumsi minuman palsu. Dalam jangka waktu pendek, menurut Bambang, dapat timbul gatal-gatal dan keracunan. Gejala awal keracunan adalah muntah, mual, pusing, dan diare. Bahkan, pasien bisa sampai tidak sadar. Penanganan pertamanya, berikan air kelapa hijau. "Air kelapa mengandung cairan elektrolit yang bisa mengganti cairan tubuh yang hilang," katanya.

Jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama, minuman aspal akan memengaruhi sifat genetik konsumen. Misalnya, gangguan ginjal. "Karena itu, perlu diperhatikan agar konsumen tidak sembarangan mengonsumsi minuman kemasan. Sebaiknya, periksa dengan teliti minuman yang akan dibeli," tuturnya. (rth)

Makanan Lebih Mudah Dikenali

TAK hanya minuman, ternyata makanan juga banyak yang dipalsukan. Namun, dampak yang ditimbulkan tidak separah minuman palsu. Sebab, perbedaan bau, fisik, serta rasa membuat masyarakat dapat segera mengenalinya.

Menurut Prof dr R. Bambang Wirjatmadi MS MCN PhD SpGK, jika makanan palsu sampai dikonsumsi maka salah satu dampak yang ditimbulkan adalah keracunan. Keracunan biasanya terjadi karena makanan tersebut tidak higienis. "Konsumen akan mual, pusing, muntah, sakit perut, dan diare," ujar Bambang.

Penanganannya, memuntahkan makanan tersebut, banyak mengonsumsi air putih, dan air kelapa muda hijau.

Melihat dampak yang ditimbulkan, Bambang memberikan saran, "Sebelum mengonsumsi makanan sebaiknya diteliti dulu rasa, warna, bentuk fisik, hingga baunya." (rth)

sumber : jawapos 22/02/2007
Maos Jangkepipun (read more) »»

Pembangkit Tenaga Surya Besar di Gurun Sahara

Posted by on | | 0 komentar
Universitas-universitas di Aljazair dan Jepang menggalang kerjasama proyek pembuatan pembangkit tenaga surya yang akan berlokasi di atas gurun pasir terbesar di dunia; gurun Sahara.

Seperti dikutip dari situs Physorg, pembangkit tenaga surya itu diproyeksikan untuk bisa memasok kebutuhan separuh penduduk bumi pada tahun 2050.

Saat ini, proyek yang dinamai Sahara Solar Breeder Project, itu akan mulai membangun pabrik silikon, yang akan memanfaatkan material Silika yang terkandung di pasir gurun. Silikon yang diproduksi akan dimanfaatkan untuk membangun panel-panel surya yang nantinya akan membangkitkan listrik.

Selanjutnya, listrik yang dibangkitkan juga akan kembali digunakan untuk membangun pabrik silikon, yang akan membuat lebih banyak panel surya, untuk membangun lagi pembangkit listrik baru, dan seterusnya.

Menurut Hideomi Koinuma dari University of Tokyo, Silika, yang terbentuk dari Silikon dan Oksigen, merupakan material yang paling banyak ditemukan di muka bumi.

"Bila kita bisa memanfaatkan pasir gurun untuk membuat bahan yang bisa menyediakan energi (panel surya-red), ini akan menjadi kunci untuk memecahkan masalah energi," kata Koinuma.

Energi yang dibangkitkan oleh panel surya akan didistribusikan melalui superkonduktor arus searah yang tahan temperatur panas yang tinggi. Sistem transmisi ini diklaim Koinuma sebagai sistem yang lebih efisien ketimbang menggunakan arus bolak-balik.

Oleh karenanya, jaringan pembangkit listrik ini nantinya akan disertai dengan sistem pendinginan dan bisa mentranspor listrik berkapasitas 100 gigaWatt, sepanjang 500 kilometer.

Bagan Rencana pembangkit listrik tenaga surya di gurun Sahara

Dengan sistem pendinginan yang menggunakan nitrogen cair, seharusnya mampu beroperasi di suhu yang mencapai sekitar 240 derajat celsius.

Sahara Solar Breeder Project (atau juga disebut Koinuma sebagai Super Apollo Project) dikembangkan sebagai bagian dari International Research Project on Global Issues besutan Japan Science dan Technology Agency (JST) dan Japan International Cooperation Agency (JICA).

Tim ini diharapkan mampu memecahkan banyak problem, termasuk badai gurun, kebutuhan nitrogen cair sebagai sistem pendingin kabel superkonduktor, dan penggalian pasir untuk pemendaman kabel untuk minimimalkan fluktuasi suhu, dan lain-lain.

Proyek lain yang memanfaatkan tenaga surya di gurun Sahara juga sempat diluncurkan tahun lalu. Proyek itu dibesut oleh The Desertec Foundation, bertujuan untuk menyokong 15 persen dari kebutuhan listrik Eropa pada 2050, menggunakan listrik arus searah bertegangan tinggi tanpa menggunakan kabel superkonduktor.

Energi yang secara terus menerus kita dapatkan dari matahari, banyaknya sekitar 10 ribu kali dari energi yang digunakan oleh seluruh umat manusia. Jadi, bila kita bisa memanfaatkan 0,01 persen saja dari itu, maka kita tak akan lagi kekurangan energi, bahkan justru bisa kelebihan (surplus)," Koinuma menambahkan. (sj)


Sumber: VIVAnew.com
Maos Jangkepipun (read more) »»

Bio-plastics: Turning Wheat And Potatoes into Plastics

Posted by on | | 0 komentar
The science of how "taters" can become Tupperware

In the past, fields of wheat and rows of potatoes were seldom destined for anything more than a rumbling tummy. But bio-products have come a long way since people first branched out into weaving hemp into clothes and pulping papyrus into scrolls. Today the line between Mother Nature and man made has never been more blurred. Animals are re-engineered into living drug factories, crops fuel our cars and now plants are increasingly being repackaged as the epitome of the synthetic world – plastic. Wheat, maize, vegetable oils, sugar beet and even the trusty spud are finding new life as water bottles, car fuel lines and laptops.

Bio-plastics harness the natural structures found in crops or trees, such as slightly modified forms of the chains of sugars in starch or cellulose, that share the ability to be easily reshaped that has made conventional oil based plastics so useful. Bio-materials scientists are also constantly tweaking these natural structures to try and better replicate the durability and flexibility of conventional plastics.
Global business is now turning to bio-plastics for an increasing number of applications, as consumers and governments demand cleaner alternatives to petroleum based technologies and their reckless production of the greenhouse gas CO2.

Worldwide players, such as DuPont and Toyota Motor Corp, are making vast investments in new technologies and processing plants with the hope of cornering a multi-billion pound industry.

The "BC" at Bangor University in North Wales has 18-years experience of working with large companies and Non-Governmental Organisations (NGOs) to find sustainable and viable bio-based alternatives to man-made materials.

BC director Paul Fowler points out that “practically anything that you can find as polyethene you can find as a bio-plastic. You are talking about a whole range of everyday products - cups, combs and wrappers, everything you can think of is out there. There are inroads being made all the time - on the one hand there is research into trying to get biological alternatives to replicate the properties of conventional plastics and on the other hand people are looking at the natural properties of these plants and trying to find an application for them. Most of the manufacture is happening in the US and continental Europe. The UK is a producer of wheat starch and biotimber but the only major bioplastic producer is Innovia Films in Cumbria, which produces cellulose films.”

Innovia Films has an annual turnover of £400m, employing 1,200 people worldwide and producing more than 120,000 tonnes of film – used in packaging to protect food. Japan is also forging ahead, from the leading role in bioplastic production played by Toyota to its recent passing of a triumvirate of laws pushing forward environmental initiatives.
In South Korea too there is a rapid drive to replace conventional plastic packaging with polylactic acid bio-plastics.

Fowler says bio-plastics also offer an opportunity to get a double return for the energy used in their manufacture – first as a useful item and secondly as a fuel source. “My view is that we should burn them at the end of their life to recover energy, which could be then used to produce new materials,” he said. “In the first instance you have a valuable resource can use, be it as packaging or a shopping bag, and then you are also getting some energy back at the end of it. The biggest advantage of such bio-materials is the reduction of CO2 emissions in their production over petrochemical-based plastics.”

He also suggests that burning bio-plastics would also avoid the problems caused by them breaking down and producing methane, which is 25-times more potent as a greenhouse gas than CO2.

The BC is currently looking at developing naturally-derived alternatives to phthalates, which are plasticisers added to PVCs to make them more flexible in products such as electrical cable flex. It follows concerns that phthalates are metabolised in the body into substances that can mimic the body's own hormones, including those concerned with fertility. The centre is also developing bio-resins, natural alternatives to synthetic resins such as phenol and formaldehyde.

What types of bioplastic are there?
The common types of bio-plastics are based on cellulose, starch, polylactic acid (PLA), poly-3-hydroxybutyrate (PHB), and polyamide 11 (PA11). Cellulose-based plastics are usually produced from wood pulp and used to make film-based products such as wrappers and to seal in freshness in ready-made meals.

Thermoplastic starch is the most important and widely used bioplastic, accounting for about 50pc of the bio-plastics market. Pure starch’s ability to absorb humidity has led to it being widely used for the production of drug capsules in the pharmaceutical sector. Plasticisers, such as sorbitol and glycerine are added to make it more flexible and produce a range of different characteristics. It is commmonly derived from crops such as potatoes or maize.

PLA is a transparent plastic whose characteristics resemble common petrochemical-based plastics such as polyethylene and polpropylene. It can be processed on equipment that already exists for the production of conventional plastics. PLA is produced from the fermentation of starch from crops, most commonly corn starch or sugarcane in the US, into lactic acid that is then polymerised. Its blends are used in a wide range of applications including computer and mobile phone casings, foil, biodegradable medical implants, moulds, tins, cups, bottles and other packaging.

PHB is very similar to poylpropylene, which is used in a wide variety of fields including packaging, ropes, bank notes and car parts. It is a transparent film, which is also biodegradable. Interest in PHB is currently very high with companies worldwide aiming to expand their current production capacity. There are estimates that this could lead to a price reduction below five euros per kilogram but this would still be four times the market price of polyethylene in February 2007. The South American sugar industry has commited to producing PHB on an industrial scale.

PA 11 is derived from vegetable oil and is known under the tradename Rislan. It is prized for its thermal reistance that makes it valued for use in car fuel lines, pneumatic air brake tubing, electrical anti-termite cable sheathing and oil and gas flexible pipes and control fluid umbilicals. These are often reinforced with fibres from the kenaf plant, a member of the hibiscus family traditionally used to make paper, to increase heat resistance and durability.

At the cutting edge of bioplastic technology lie polyhydroxyalkanoate (PHA) materials. These are derived from the conversion of natural sugars and oils using microbes. They can be processed into a number of materials including moulded goods, fibre and film and are biodegradable and have even been used as water resistant coatings.

What are the benefits of bio-plastics?

- Reduced CO2 emissions.
One metric ton of bio-plastics generates between 0.8 and 3.2 fewer metric tons of carbon dioxide than one metric ton of petroleum-based plastics. Electronic giant Sony uses PLA in several of its smaller components, including one of its new walkmans, but in future hopes to use PLA-based polymers to reduce its carbon dioxide emissions by 20pc and non-renewable resource input by 55pc compared to oil-based ABS.

- Rising oil prices
Despite currently costing more to produce than conventional plastics bio-plastics are becoming more viable with increasing and instability in oil prices, which are in turn triggering spikes in conventional plastic costs, illustrated in a sharp upturn two years ago. Dwindling oil supplies means that man will eventually be forced to turn to a sustainable basis for plastics.

- Waste
Bio-plastics reduce the amount of toxic run-off generated by the oil-based alternatives but also are more commonly biodegradable. The US’s second largest biopolymer producer Metabolix, of Cambridge, Massachusetts, claims that its plastics are biodegradable in composting bins, wetlands and the oceans. On the flip side not all bio-plastics are biodegradable and there are a growing number of conventional plastics that can naturally break down. The downside of their biodegradability is the methane that can be released as the bio-plastics decompose is a powerful greenhouse gas.

- Benefit to rural economy
Prices of crops, such as maize, have risen sharply in the wake of global interest in the production of biofuels and bio-plastics, as countries across the world look for alternatives to oil to safeguard the environment and provide energy security.

- Enhanced properties
In some fields engineered bio-plastics are now beating oil-based alternatives at their own game. Multinational materials giant Arkema has produced a form of Rislan PA11 that is being used in Europe and Brazil in fuel lines to carry biofuels as it is better able to withstand the corrosive effects of biofuels than oil-based alternatives such as polyamide 12. Rislan is widely used in oilfield applications as well as automotive brake lines. Elsewhere innovations in PA11 production are helping increase car passenger safety and reduce the risk of accidents by inhibiting spark ignition in the fuel lines. US car giant General Motors has replaced its non-conductive fuel-pump modules for new North American car models as it felt it was the best material for the job. In the US chemical multinational DuPont says it has developed a bioplastic derived from corn sugar that has superior stiffness and strength to its naturally based competitors. Global electronics corporation NEC has produced a kenaf-reinforced laptop casing, made of 90pc PLA, which helps reduce overheating by conducting heat better than stainless steel coupled with high temperature resistance and increased strength.

Who are the flagwavers?
Bio-plastics are not being produced by a group of hippies brewing up in their garage. Some of the world’s largest companies including multi-billion dollar chemicals company DuPont, car manufacturer Toyota, UK-based Innovia, US food processing behemoth Cargill and electronics giants NEC and Fujitsu are pouring money into driving the technology and production forward.

NEC and its partners Unitika and NTT DoCoMo produce mobile phone and laptop casings based on plant-derived bio-plastics, mostly PLA. NEC plans to expand its green credentials by substituting more than 10pc of the oil-based plastics in its electronic products with bio-plastics by 2010.

Toyota Motor Corp uses mainly PLA bio-plastics, derived from sweet potatoes corn and sugar beet, reinforced with kenaf to produce components for its cars such as the Prius and Lexus. It hopes to grow its bio-plastics division into a four billion yen business by 2020 and capture two thirds of the global market for petroleum free plastics.

Fujitsu introduced its FMV BIBLO notebook PC series two years ago, which it has manufactured using a material called Ecodear, a combination of 50 pc PLA and an oil-based plastic. Fujitsu is now developing a castor oil derived PA 11 plastic with Arkema, which is more flexible and will help expand its use of bio-plastics in notebook computers. The material can withstand repeated bending thanks to scientists weakening the interaction of the chain molecule in PA 11 and relaxing the stereoregularity of their organisation. The improved durability means its prototypes of PC cover components consist of 60-80 percent of the new bioplastic, an unprecedented achievement to date. Fujitsu is also using high density fillers to increase strength and extend its use into notebook covers and other applications requiring high impact resistance. The new material is expected to cut carbon dioxide emissions by 42pc compared to oil-based nylon 6/6.

DuPont in particular is continuing to expand the market for bio-plastics and plans to continue to offer hybrid bio/conventional plastic materials until the market matures, which could eventually cost less than the oil-based alternatives. DuPont has teamed up with sugar giant Tate & Lyle to build the world’s largest aerobic fermentation plant in Loudon in Tennessee in the US for the production of bio-PDO, with a capacity of 45,000 metric tonnes a year.

The largest commercial producer of bioplastic in the US is NatureWorks, owned by Cargill. The company’s plant in Blair, Nebraska uses corn sugar to produce PLA plastics packaging material and its own Ingeo-brand fibres.

What lies ahead?
With US President George Bush’s recent pledge to produce 35 billion gallons of renewable and alternative fuel by 2017 - driving the price of maize up 60pc in the past two months - the farmer’s field is fast turning into a high tech bio-battleground.

Mr. Fowler warns that the still fledgling industry will have to fight for space and commercial viability as millions of hectares are given over to corn, rapeseed and sugarbeet for bio-fuel production. "There is a real tension between the use of agriculture for fodd versus plastics and other non-food uses and this whole move to produce new fuels," he said. Whereas only two years ago plant materials were at the cheap end of the market and bio-products such as straw had little value, now it is really much more costly. There would have to be a step change in the extent of the production to match oil-based plastics. The amount of bioplastics produced worldwide is less than 200,000 tonnes a year; contrast that with the more than 30 million tonnes of oil-based plastics. You can see we have a long way to go before they replace conventional plastics".

About the Author
Nick Heath is a newspaper journalist based in Norfolk with a keen interest in science.

source: thenakedscientists.com
Maos Jangkepipun (read more) »»

Budidaya Lele yang Murah Meriah

Posted by on | | 1 komentar

Pekarangan rumah luas dan Anda suka budidaya ikan? Ada baiknya Anda melirik budidaya lele ini. Budidaya lele ini ternyata tak melulu 'jorok' karena sudah bisa dikembangkan sistem budidaya yang lebih murah, bersih dan menjanjikan dengan suplemen organik sehingga bisa maksimal hasilnya. Bisnis budidaya ikan lele ini pun tampaknya akan selalu menguntungkan. Hal ini karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan ikan sebagai sumber protein yang tinggi dengan harga yang terjangkau. Ikan menjadi alternatif mengingat harga daging yang makin hari makin mahal.
Ikan lele sendiri memiliki nilai gizi yang mumpuni disamping dagingnya yang gurih. Lele mengandung protein yang tinggi dan zat penguat tulang (kalsium) yang baik untuk makanan anak balita. Selain itu lele juga mengandung mineral lain yang penting pula untuk kesehatan tubuh.

Dengan fakta-fakta itu, maka pada akhirnya ikan lele dapat dijadikan peluang usaha yang menarik. Mengingat selama ini budidaya ikan lele selalu terkesan 'jorok', kini budidaya ikan air tawar tersebut sudah berkembang menjadi lebih murah, bersih, dan menjanjikan.

"Sekarang untuk budidaya ikan lele, kita sudah ada suplemen organik yang dapat membantu budidaya lele lebih maksimal. Karena suplemen organik ini memiliki fungsi sebagai penjaga kualitas air, menignkatkan percepatan pembesaran bibit lele jika dicampur dengan pakannya, dan mengurangi tingkat mortalitas dari bibit lele," jelas Deden A.S, sebagai salah seorang pembudidaya lele yang ditemui detikFinance, Minggu (21/11/2010).

Deden, yang memulai budidaya lele ini sejak tahun 2006, diawali hanya iseng-iseng di pekarangan rumahnya dengan membuat kolam dari terpal sebesar 3x3x1 meter yang diisi air setinggi 7O cm. Dengan pola budidaya intensif, kolam tersebut dapat menampung jumlah tanam bibit ikan lele sebanyak kurang lebih 1800-2000 yang masing-masing bibit tersebut berukuran 10-12 cm.

"Setelah membuat kolam dan menaruh bibit lele tadi, kemudian memberi pakan dan suplemen organik dengan waktu teratur, selama 45 hari saya bisa memanen lele tersebut dengan jumlah berat sebesar 200 Kg - 250 Kg untuk jumlah maksimalnya," ujar Deden.

Bagi anda yang tertarik mencoba membudidayakan ikan lele ini, Deden memberi asumsi perhitungan yang sederhana. Dimulai dengan membuat kolam dari terpal dengan ukuran 3x3x1 meter yang tentunya memerlukan biaya yang tidak begitu mahal ketimbang membuat kolam dari semen atau kolam gali.

"Masalah perhitungan harga pembuatan kolam dari terpal, tentu semua orang akan tahu berapa biaya yang dibutuhkan. Karena terpal sendiri permeternya murah," jelas Deden.

Kemudian, Deden memberikan asumsi biaya pembelian bibit lele dengan harga Rp 300 per ekor. Jika untuk kolam 3x3x1 meter dapat menampung bibit kurang lebih 2000 ekor, maka kita hanya perlu mengeluarkan kocek sebesar Rp 600.000 (Rp 300 x 2000 ekor).

Mengingat lama pembesaran membutuhkan waktu selama 45 hari, maka kebutuhan pakan yang dibutuhkan adalah sejumlah 90 Kg (2 Kg perhari). Nantinya, Biaya yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 660.000, dengan harga pakannya perkarung adalah Rp 220.000 seberat 30 Kg.

Adapun, pembelian kebutuhan suplemen organik adalah Rp 180.000 untuk 4 botol selama 45 hari pembesaran bibit. Empat botol tersebut akan difungsikan untuk pemaksimalan kualitas air dan bibit lele.

Pada akhirnya, total biaya yang dibutuhkan adalah kurang lebih Rp 1440000.

Berikut adalah ringkasan dari modal yang dibutuhkan perkolamnya adalah:


* Harga Bibit Lele : Rp 300 x 2000 ekor = Rp 600.000
* Harga Pakan : Rp 220.000 x 3 karung = Rp 660.000
* Harga Suplemen Organik: Rp 45000 x 4 botol = Rp 180.000
* Total Biaya Produksi: Rp 1.440.000


Melalui asumsi modal tersebut dari Deden, maka keuntungan yang bisa didapat dari satu buah kolam dengan target panen 2.000 bibit adalah 200 Kg - 250 Kg.

Deden menjelaskan, bahwa harga eceran yang bisa diraih adalah senilai Rp 15.000 perkilonya. Sedangkan untuk harga yang dijual ke pasar, dapat diraih sebesar Rp 12000 perkilonya.

Sehingga, lanjut deden, jika diambil dari asumsi harga terendahnya, maka keuntungan yang bisa diambil adalah Rp 960.000 untuk satu kolam. Jumlah tersebut diambil dari penjualan lele sebanyak 200 Kg x Rp 12.000 yang berjumlah Rp 2400.000 dikurangi biaya produksi yang berjumlah Rp 1.440.000.

"Jika panen yang kita hasilkan maksimal, kita dapat mencapai berat sejumlah 250 Kg. Keuntungan yang bisa diambil dari selisih total penjualan dan biaya produksi adalah sebesar Rp 1.560.000 perkolamnya," tegas Deden.

Dari penjualan lele tadi saja, jelas Deden, itu sudah merupakan peluang usaha yang menarik di samping aktivitas kesibukan sehari-hari. Karena biaya yang dibutuhkan tidak membutuhkan nilai investasi yang tinggi.

"Dari sisi waktu tidak begitu lama, malah simple dan sederhana. Yang penting disiplin saja dalam jadwal pemberian pakan dan suplemen organiknya.'' kata Deden.

Berbicara mengenai peluang yang lebih luas lagi. Hasil dari lele tersebut, dapat dijadikan berbagai macam peluang usaha lainnya yang lebih menarik tentunya.

Selain yang sudah kita ketahui, lele dapat dijadikan menu makanan pecel lele. Namun di sisi lain, hasil dari olahan daging ikan lele dapat dijadikan berbagai macam hasil. Misalnya, daging lele dapat dijadikan nugget lele, abon lele, lele asap, bakso lele, dan bahkan dapat dijadikan filet lele. Mengingat kebutuhan filet lele untuk ekspor sangat tinggi.

"Atau mungkin kita dapat mengembangkan dari hasil ikan lele tersebut menjadi olahan-olahan penganan menurut ide dan kreativitas kita yang memiliki nilai jual tinggi," ucap Deden.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai budidaya intensif ikan lele, anda dapat menghubungi Departemen Perikanan, atau para pelaku usaha ikan lele seperti Deden A.S ini.

sumber: detikfinance.com
Gambar: harisarya.com
Maos Jangkepipun (read more) »»

NTT Bertekad jadi Sentra Produksi Sapi

Posted by on | | 0 komentar

Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT) bertekat untuk mengembalikan daerahnya sebagai sentra produksi sapi potong yang diperhitungkan di Indonesia guna mengisi kebutuhan pasar dalam negeri yang cukup besar mencapai sekitar 13,2 juta ekor per tahun.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengatakan tekad tersebut didasari atas potensi alam dan semangat kerja masyarakat, khususnya di Kabupaten Kupang, yang beberapa tahun yang lalu pernah menjadi salah satu pusat produksi sapi potong yang terbesar di Tanah Air.
“Kami bertekad mengembalikan NTT, khususnya Kabupaten Kupang sebagai setra peternakan sapi yang dulu pernah menjadi salah satu pemasok utama kebutuhan di dalam negeri dan ekspor,” katanya menjawab Bisnis seusai peresmian Kampung Jasa Raharja di Desa Merbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, NTT akhir pekan lalu.

Dia mengatakan sedikitnya 4 program tengah dilaksanakan untuk menyukseskan pengembangan NTT menjadi salah satu sentra produksi sapi potong yang diperhitungkan di Indonesia, yakni Pertama, berusaha secara maksimal menekan tingkat kematian pedet (anak sapi) yang kini masih tinggi mencapai di atas 30% sehingga populasi hewan ternak itu terus bertambah jumlahnya.

Program Kedua adalah menyelamatkan sapi betina produktif, terutama yang akan dijual oleh pemiliknya karena desakan ekonomi, untuk dipotong atau dikirim ke luar dari wilayah NTT. Padahal sapi itu berpotensi untuk dikembang biakkan di daerah setempat.

Untuk itu pihak Unit Pelayanan Teknis Pembibitan Dinas Peternakan NTT siap membeli setiap sapi betina produktif yang akan dijual oleh pemiliknya, kemudian dipelihara hingga melahirkan dan anaknya nanti dibagikan lagi kepada para peternak di daerah setempat.

Menurut Frans, program Ketiga terkait dengan jaminan ketersediaan pakan sapi dengan cara mewajibkan setiap pemilik hewan ternak itu menanam sendiri pohon lamtoro untuk diambil daunnya sebagai pakan sapi, dan mendorong pengembangan industri pakan di daerah itu.

“Program berikutnya yang kami lakukan adalah mengusahakan akses permodalan melalui kemitraan dengan sejumlah lembaga keuangan maupun instansi seperti dengan PT Jasa Raharja Persero yang membantu modal usaha kepada para peternak untuk membeli sapi,” ujarnya.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama Dirut PT Jasa Raharja Persero Diding S. Anwar mengatakan pihaknya telah menyalurkan dana sebesar Rp255 juta untuk dibagikan kepada 17 peternak sapi di Desa Merbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang untuk membeli 85 ekor sapi.

“Selain pinjaman modal berbunga rendah hanya 6% per tahun untuk membeli sapi, kami juga memberikan pendampingan secara langsung kepada mereka karena Desa Merbaun terpilih menjadi Kampung Jasa Raharja yang menjadi desa binaan kami,” katanya.

Diding mengatakan di dalam desa benaan tersebut PT Jasa Raharja memberikan bantuan material untuk bangunan kandang yang kini sudah difungsikan, pembangunan gedung taman kanak-kanan, perpustakaan, serta lapangan foli dan pembuatan gawang sepak bola secara permanen.

Kepala Desa Merbaun Arnold Naisanu mengatakan jumlah sapi yang ada di desanya sekarang mencapai lebih dari 1.000 ekor dan secara keseluruhan di wilayah NTT mencapai sekitar 556.000 ekor yang tersebar di beberapa kabupaten yang potensial untuk ternak sapi.

Dengan bantuan dari PT Jasa Raharja atau instansi lainnya, kata dia, diharapkan dapat menyukseskan program Pemprov NTT untuk menjadikan daerahnya sebagai sentra produksi sapi yang diperhitungkan di Tanah Air.
Sumber : bisnis.com
gambar:www.florestourismboard.com
Maos Jangkepipun (read more) »»

Kaizen, "Bambu Runcing" Kesuksesan Jepang

Posted by on | | 0 komentar

Kaizen merupakan sebuah istilah yang cukup populer dalam manajemen Jepang, terutama di bidang industri. Kaizen berasal dari bahasa Jepang "kai" yang artinya "perubahan" atau "perbaikan" dan "zen" yang artinya : "baik".
Kaizen merupakan sistem pengambangan produktivitas, kualitas, teknologi, proses produksi, budaya kerja, keamanan kerja, dan kepemimpinan yang dilakukan terus menerus. Jadi, semua orang di pabrik, mulai dari manajer sampai karyawan atau karyawati di level bawah, dianggap ahli dan mampu melakukan perbaikan. Dalam bahasa Inggris, padanannya adalah Continuous Improvement (CI), yang dapat diartikan usaha untuk terus-menerus melakukan perbaikan. Kaizen dijalankan melalui proses dan siklus PDCA atau Plan-Do-Check-Action, yaitu merencanakan, melakukan, mengevaluasi, melakukan Preventive Action (PA atau tindakan pencegahan) dan Corrective Action (CA atau tindakan perbaikan). Dengan adanya siklus PDCA ini, terutama dari adanya CA dan PA, maka standar dan hasil kerja semakin lama akan semakin
baik.
Kaizen dapat dilakukan pada seluruh proses, apakah pada P, D, C, atau A. Tetapi pada praktiknya, Kaizen lebih banyak dilakukan pada proses Action, yaitu CA dan PA. Pada CA dan PA, akan muncul rekomendasi, apakah ada saran perbaikan untuk P, D, dan C.

Kaizen dapat dilakukan secara perorangan. Tetapi, pada umumnya dilakukan per kelompok dalam bentuk Quality Control Circle (QCC) atau Gugus Kendali Mutu. Sekelompok karyawan/karyawati pada satu bidang pekerjaan mengevaluasi masalah utama pada pekerjaannya, dan membuat target perbaikan yang ingin dicapai, dalam waktu tertentu. Misalnya: masalah produk cacat akan diturunkan dari 1 persen menjadi 0,5 persen dalam waktu 1 bulan.

Hal yang menarik pada Kaizen adalah melibatkan semua orang, mulai dari manajer sampai karyawan/karyawati pada level bawah, mengandalkan pengamatan di tempat kerja, dilakukan dengan biaya yang cukup murah, dan berhasil meningkatkan keunggulan bersaing produk di bidang mutu dan harga. Selain itu, juga menanamkan mindset untuk selalu berpikir ke arah yang lebih baik, untuk selalu belajar dan memperbaiki diri.

Salah satu metode perubahan dan perbaikan yang dilakukan banyak perusahaan adalah menerapkan 5S / 5R. 5S / 5R adalah cara untuk meningkatkan produktivitas dengan melakukan kegiatan menata tempat kerja. Karena lingkungan kerja yang nyaman, dan teratur, dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang tinggi di perusahaan.

Di Jepang, cara ini sudah menjadi budaya kerja dan dikenal dengan 5S, sedangkan di Indonesia disebut 5R, yaitu :
1. Seiri. = Ringkas
2. Seiton. = Rapi
3. Seiso. = Resik
4. Seiketsu = Rawat
5. Shitsuke = Rajin

5S / 5R diatas merupakan urutan dalam menata tempat kerja, yang merupakan tanggung jawab semua pekerja, mulai dari CEO sampai Cleaning Service. Setiap pekerja bertanggung jawab melakukan penataan tempat kerja kearah yang lebih baik, dan ini harus menjadi budaya perusahaan.

Seiri / Ringkas :
Membuang barang barang yang tidak diperlukan, dan menyimpang barang yang diperlukan dengan cara tertentu agar mudah diakses ketika dibutuhkan.
Langkah langkah Ringkas :
1. Cek barang di area kerja masing masing
2. Tentukan kategori barang yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan.
3. Beri label merah utk barang yang tidak dibutuhkan.
4. Siapkan tempat untuk membuang barang barang yang tidak dibutuhkan.
5. Secara berkala, buanglah barang barang berlabel merah ke tempat yang telah disiapkan.

Seiton / Rapi :
Adalah menyimpan barang sesuai dengan tempatnya. Kerapian adalah seberapa cepat kita menyimpan barang, dan seberapa cepat kita mengambilnya kembali ketika dibutuhkan.
Langkah-langkah Rapi :
1. Rancang metode penempatan barang yang diperlukan, sehingga mudah didapatkan kembali saat dibutuhkan.
2. Tempatkan barang-barang yang diperlukan ke tempat yang telah dirancang dan disediakan.
3. Beri label / identifikasi untuk mempermudah penggunaan maupun pengembalian ke tempat semula.

Seiso / Resik :
Adalah membersihkan tempat kerja/lingkungan kerja, mesin/peralatan, dan barang-barang agar tidak terdapat debu dan kotoran. Kebersihan harus dilaksanakan dan dibiasakan oleh tiap karyawan.
Langkah-langkah Resik :
1. Sediakan sarana kebersihan
2. Pembersihan tempat kerja secara berkala.
3. Peremajaan tempat kerja.
4. Pelestarian Resik

Seiketsu / Rawat :
Adalah mempertahankan hasil yang telah dicapai pada 3R sebelumnya dengan menstandarisasikannya.
Langkah Rawat :
1. Tetapkan standar kebersihan, penempatan, dan penataan
2. Komunikasikan ke setiap karyawan yang sedang bekerja di tempat kerja.

Shitsuke / Rajin :
Adalah terciptanya kebiasaan pribadi karyawan untuk menjaga dan meningkatkan apa yang sudah dicapai. Rajin di tempat kerja berarti pengembangan kebiasaan positif di tempat kerja.
Langkah langkah melakukan Rajin :
1. Tentukan Target bersama
2. Teladan atasan
3. Komunikasi di lingkungan kerja
4. Kesempatan belajar

Bagaimana memulai 5S / 5R di organisasi Anda ?
1. Buat komitmen untuk melaksanakan 5S / 5R
2. Lakukan pelatihan 5S / 5R
3. Bentuk organisasi kecil untuk implementasi 5S / 5R
4. Publikasikan 5S / 5R melalui : banner, spanduk, poster, papan pengumuman, agar dipahami oleh semua departemen.
5. Siapkan bahan dan sarana 5S / 5R
6. Lakukan Inspeksi secara berkala dan berkelanjutan, analisa perkembangannya, lakukan koreksi bila ada kekurangan, dan buat jadwal peerbaikan.
7. Terapkan "reward dan punishment" melalui kompetisi antar departemen.

Manfaat 5S / 5R :
1. Lingkungan kerja lebih nyaman, aman, dan bekerja lebih cepat.
2. Peningkatan produksi, tanpa menambah area kerja.
3. Produktivitas SDM meningkat
4. Penghematan yang diperoleh dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Dengan 5R Kaizen, maka pekerja akan :
Lebih nyaman,
Lebih efisien,
Lebih produktif,
Lebih sejahtera...
-dari berbagai sumber-
Maos Jangkepipun (read more) »»